Posted by : Unknown
Rabu, 18 September 2013
“ilmu itu butuh diikat agar tidak ‘berlarian’ ke sana ke mari. Cara mengikat ilmu yang paling tepat adalah dengan menuliskannya.” -Yeni Mulati dengan nama pena Afifah Afra-
Ada sebuah perkataan klasik
tentang sebuah ilmu, yakni orang yang semakin banyak ilmunya maka dia akan
semakin merendah seperti padi semakin berisi semakin merunduk namun apakah
kenyataannya demikian? Jawabannya pasti ya. Ada juga yang bilang gak juga temen
saya ada yang pinter tapi sombongnya minta ampun, nah! Ada apa dengan orang itu
perlu kita selidiki, beberapa faktornya antara lain:
1. Jauh
dari syukur
Biasanya anak
pintar itu kurang bersyukur dengan apa yang terdapat pada dirinya, dan
menggampangkan orang lain akhirnya menganggap orang lain lebih bodoh dari pada
dirinya.
2. Tidak
memahami benar-benar ilmu yang didapat
Kadang orang
tidak memahami secara benar-benar apa yang sedang dipelajari dan apa yang akan
dia terapkan dan kebanyakan pelajaran Indonesia yang dikejar itu angka, bukan
nilai yang di dapatkan dari ilmu yang di dapat, maka selamanya pelajar ini akan
mengejar pekerjaan bukan membuka pekerjaan.
3. Gampang
merasa puas
Musuh terbesar
sebuah ilmu adalah merasa puas maka setelah itu kesombongan akan muncul dan
orang itu merasa paling mengetahui apapun dan dibutakan oleh kesombongan itu
sendiri. Sombong adalah awal dari kekalahan.
Ketika kita bicara pendidikan
maka kita tidak bisa lepas dari yang namanya kualitas dan kuantitas pelajar,
atau orang terpelajarnya. Banyangkan saja ketika Hirosima dan Nagasaki di bom pemerintah
Jepang langsung menanyakan berapa jumlah
guru yang masih hidup, bukan pedagang, pejabat, dokter atau apa, karena guru
adalah elemen vital dalam rangka membangun sebuah negara. Banyak hal yang perlu
dibenahi dari sistem pendidikan di Indonesia. Dai atas sampai kebawah dan perlu
adanya kurikulum yang pasti tidak ada lagi perubahan yang nantinya menghambat
karena harus belajar ulang dengan sistem yang baru.
Tahukah kenapa di negara ini
belum ada peneliti yang dididik oleh negara ini yang mampu menemukan sebuah
trobosan atau menemukan teori baru yang menggebrak dunia Internasional? Kecuali
Habibie, itupun karena beliau belajar di Jerman. Bukan asli didikan warga
negara Indonesia yang sangat kita cintai ini. Setelah berdiskusi dengan
beberapa orang ternyata memang da sebuah kelemahan di sistem kita dididik yakni
dengan contoh saja matematika di negeri ini hanya tentang bagaimana menghitung
saja dari pendidikan dasar kita. Mungkin kalau sudah belajar di kampus baru
bisa menganalisis, namun terkadang mereka juga tidak tahu apa yang sedang di
kerjakan. Pendidikan ini memaksa kita untuk terus meningkatkan kuantitas tanpa
dibarengi dengan kualitas, berbeda di negara-negara Eropa yang sangat menjujung
tinggi kualitas dari yang dipelajari jadi mereka mempelajari ilmu itu secara
filosofis bukan secara perhitungan, dengan mempelajari ilmu secara filosofis
maka sifat-sifat dari sebuah ilmu akan kita ketahui, dan setelah kita
mengetahui sifatnya maka kita bisa melihat karakteristiknya dan akhirnya apapun
bentuk soalnya akan dikerjakan dengan baik dan tahu kecocokan antara suatu
persamaan yang akan dikerjakan.
Sama halnya ketika pemerintah
negeri yang sangat kita cintai ini yang selalu menuntut perbanyak kuota agar
banyak yang diterima dan nantinya banyak sarjana di negeri ini. Namun program
yang sangat mulia ini tidak dibarengi dengan pengadaan sarana dan pra-sarana
tidak ada pembuatan gedung baru. Banyak orang di pemerintahan yang terlalu
banyak menuntut namun tidak dipikirkan apa saja yang dibutuhkan, sungguh miris
nasib bangsa ini.
Solusi yang ditawarkan dari
setiap keputusan yang diberikan adalah tolong dengan sangat kepada guru-guru
negeri ini, ajarkanlah sacara detail ilmu yang mereka dapatkan bukan hanya pada
permukaan saja namun juga perlu pendalaman dan untuk pemerintah nageri ini yang
kita sama-sama cintai agar memberikan kajelasan soal kurikulum karena jika
kurikulum berubah maka guru pun akan sulit menggunakan sistem yang paling pas
untuk anak didiknya.
Dari ISH dipojok sebuah kamar
terang